Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950. Selepas merdeka, tepatnya pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar bertemulah sejumlah seniman, antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas. Mereka berkumpul untuk merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring)
Gelanggang Seniman Merdeka. Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Perkumpulan ini kemudian mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang.
Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Secara padat, semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.
Siapakah sesungguhnya konseptor di balik perumusan Surat Kepercayaan Gelanggang itu? Apa pula signifikansinya sehingga Surat Kepercayaan Gelanggang akhirnya dipublikasikan, justru setelah Chairil Anwar meninggal dan hampir empat tahun setelah berdiri Gelanggang Seniman Merdeka?
Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat… tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,” angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri.
Sebelum pemuatan Surat Kepercayaan Gelanggang dalam Siasat 22 Oktober 1950, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak konsepsi kesusastraan baru Pujangga Baru dan sekaligus menentang gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat. Yang hendak ditekankan angkatan ini adalah harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Tetapi, di lain pihak ketiga penyair ini pun sesungguhnya melanjutkan gagasan Alisjahbana itu. Periksa saja mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang serta semangat yang melandasi Surat Kepercayaan Gelanggang. Secara jelas kita masih merasakan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang bukan tanpa sadar hendak melanjutkan perjuangan Alisjahbana.
Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat… tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,” angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri.
Sementara itu, publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam Siasat, 22 Oktober 1950, terlambat hampir sembilan bulan lamanya jika melihat tarikh yang tercantum di sana. Penyiaran itu sangat mungkin dimaksudkan sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950. Indikasinya tampak dari beberapa faktor berikut.
Pertama, Baharudin, Basuki Resobowo dan Henk Ngantung yang semula termasuk pendiri Generasi Gelanggang, justru masuk Lekra. Menyusul kemudian Rivai Apin, tercatat menjadi anggota pada sekretariat pusat Lekra. Dengan sendirinya, mereka tidak dapat lagi mewakili Generasi Gelanggang. Baharudin, misalnya, dalam sebuah artikelnya yang dimuat Spektra, II, 9, 29 September 1950, mengatakan: “Kewajiban seni adalah mendidik dan dalam hiburan mempunyai satu tujuan yang tegas yaitu kegembiraan kerja dan semangat perjuangan rakyat.” Di bagian lain, dengan tegas ia juga menolak gagasan humanisme universal yang pada awalnya justru merupakan sikapnya dalam ikut melahirkan Gelanggang Seniman Merdeka.
Kedua, secara ideologis, Lekra berseberangan dengan Generasi Gelanggang. Pertentangan ini sesungguhnya terjadi karena memang Lekra dan Generasi Gelanggang berpijak pada pandangan yang berbeda mengenai kesusastraan dan kesenian pada umumnya. Lekra berangkat dari gagasan realisme sosialis yang menuntut keberpihakan seniman pada rakyat dan menempatkan politik sebagai panglima. Generasi Gelanggang menganjurkan humanisme universal, kemanusiaan sejagat, tanpa memandang status sosialnya. Sedangkan urusan politik dan kesenian (kesusastraan) adalah persoalan yang tidak perlu saling mencampuri. Kebudayaan tidak perlu terlibat dalam urusan politik. Pembelaan budayawan hanyalah pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ketiga, kemajuan Lekra yang begitu luas memasuki sejumlah kota besar di Indonesia setelah beberapa bulan pendiriannya, jauh lebih bergema dan berpengaruh dibandingkan kiprah Generasi Gelanggang. Setidak-tidaknya, pengaruh itu diukur berdasarkan gencarnya publikasi sastrawan Lekra dan bertumbuhannya cabang-cabang Lekra berikut berbagai organisasi keseniannya. Beberapa bulan setelah pendirian Lekra, misalnya, di Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan Bandung telah berdiri cabang-cabang Lekra yang disemarakkan pula dengan berbagai kegiatan keseniannya. Setelah itu, kemudian berlanjut dengan munculnya cabang-cabang Lekra di sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa. Prestasi ini diikuti pula oleh usaha penerbitan. Zaman Baru, Republik (Surabaya), Harian Rakjat, Sunday Courier (Jakarta) dan Rakjat (Medan) adalah media massa yang berada di bawah penerbitan Lekra yang ketika itu banyak dimanfaatkan pula sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keempat, Lekra yang secara tegas menyatakan bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan” seolah-olah sengaja hendak menanfikan keberadaan Generasi Gelanggang yang terkesan elitis. Pertentangan antara dua paham yang berbeda itu, yaitu antara golongan pendukung gagasan humanisme universal dan sastrawan Lekra yang menganut paham realisme sosialis, makin melebar dengan fitnah dan teror yang banyak bermunculan di berbagai media massa. Dalam perkembangannya, pendukung humanisme universal didukung oleh sastrawan dan seniman lainnya yang lalu mencetuskan pernyataan sikapnya yang tertuang dalam Manifes Kebudayaan. Puncaknya terjadi ketika Presiden Soekarno, 8 Mei 1964, melarang Manifes Kebudayaan. Para penada tangan pernyataan itu diberangus dan tak diberi ruang gerak apa pun.
Terlepas dari persoalan yang melatarbelakangi publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang, pengaruhnya sendiri yang semula kurang begitu bergema, terus bergulir dan menjadi besar justru lantaran serangan pihak Lekra. Nama Asrul Sani sebagai penulis naskah itu, seolah tetap surut di bawah hingar-bingar polemik dan bayang-bayang nama besar Chairil Anwar. Meskipun demikian, dalam pandangan sastrawan tahun 1950-an, pengaruh Asrul Sani, sama besarnya dengan Chairil Anwar, Idrus, atau Pramoedya Ananta Toer. Asrul Sani dan Chairil Anwar, tetap menempati kedudukan yang khas di mata sastrawan masa itu. Ketika desakan Lekra begitu kuat, Asrul Sani bersama Usmar Ismail kemudian mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang berinduk pada partai Nahdhatul Ulama (NU).
Pada tahun 1954, saat diundang Universitas Harvard untuk menghadiri seminar tentang kebudayaan, Asrul memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam pengetahuannya tentang teater. Inilah awal ia terjerumus pada bidang teater. Sekembalinya dari Amerika tahun 1955, ia mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) bersama Usmar Ismail dan D. Djajakusuma. Dari sinilah ia meluaskan kiprahnya, memasuki teater dan film. Puluhan naskah drama dan film telah dihasilkannya.
Lalu bagaimana gagasan Asrul Sani tentang idealismenya membangun kebudayaan Indonesia yang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang dinyatakan sebagai “… ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Dalam artikelnya, “Surat Kepercayaan” (Gelanggang, I, 1, Desember 1966), Asrul tetap konsisten pada sikapnya semula: “Kita tidak menolak ‘isme’ apapun dalam kesenian… kita adalah penentang keras pendirian ‘politik adalah panglima’”. Satu hal yang penting dan tidak boleh diabaikan dalam pembangunan kebudayaan Indonesia, dinyatakan Asrul dengan kalimat: “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.”
Sejalan dengan perjalanan waktu, sosok Asrul Sani terus menggelinding. Membongkar dan meneroka kebobrokan elite penguasa korup, sambil terus mengingatkan: bahwa masalah pembangunan di tanah air kita ini bukan hanya masalah uang, alat dan keamanan, tetapi terutama kualitas manusia. Dan bangsa ini hancur lantaran negeri ini dikelola oleh sebuah rezim yang berkualitas meminggirkan kebudayaan; para pemimpin yang tidak mau menempatkan pembangunan kebudayaan sebagai semangat mengangkat harga diri bangsa! Sesungguhnya Asrul telah mengingat masalah itu lewat pernyataannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang. Inilah kontekstualitas gagasan Surat Kepercayaan Gelanggang bagi kita.
Kini, salah satu tokoh penting Angkatan 45 itu, telah meninggalkan kita. Malam hari, 11 Januari 2004, Asrul Sani menghembuskan nafas terakhirnya. Meski demikian, Asrul Sani telah menaburkan banyak karya dengan konsistensinya mengusung kebudayaan sebagai salah satu bagian penting dalam pembangunan kualitas manusia. Semangatnya –seperti juga semangat Chairil Anwar—niscaya akan tetap hidup dalam jiwa manusia Indonesia yang mengusung kebudayaan sebagai teras dalam upaya mengangkat martabat bangsa. “Selamat jalan Sang Konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang!”
Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
Diterbitkan pada Majalah Siasat tanggal 22 Oktober 1950