Kitab tafsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Syaikh Ibnu Katsir telah menjadi rujukan penting para pengkaji ilmu al-Qur’an hingga saat ini. Kekuatannya terletak pada penjelasannya yang dilengkapi dengan hadis-hadis dan riwayat-riwayat yang masyhur. Ia sangat ketat menyeleksi riwayat-riwayat yang diragukan kesahihannya.
Metode memaparkan penjelasannya dengan penafsiran al-Quran dengan al-Quran (tafsirul Qur’an bil Qur’an), penafsiran al-Quran dengan hadis (tafsirul Qur’an bil Hadits), dengan pendapat para ulama salaf yang saleh dari kalangan para sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan dengan konsep-konsep bahasa Arab. Tafsirnya dikenal terbaik pada masanya.
Syaikh Ibnu Katsir adalah mufassir kenamaan yang lahir di negeri Syam. Nama aslinya Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi al-Syafi’i. ‘Katsir’ sebenarnya nama kakeknya bukan nama Ayahnya. Tapi ia terkenal dengan Ibnu Katsir, dinisbatkan kepada kakeknya. Dilahirkan pada tahun 701 H/1301 M di Bushro, sebuah daerah di wilayah negeri Syam.
Ayahnya adalah seorang ulama’ di daerahnya. Menjadi khatib di Masjid tempat kelahirannya. Ketika masih berumur dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Saudaranya yang bernama Kamaluddin Abdul Wahab yang mengasuhnya hingga ia menuntut ilmu di kota Damaskus. Pada umur tujuh tahun ia pindah ke Damaskus bersama saudara lelakinya untuk mencari guru.
Di Damaskus, Ibnu Katsir banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Imam al-Dzahabi. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Oleh Syaikh al-Mizzi, Ibnu Katsir diambil menantu.
Kota Damaskus pada waktu itu menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan. Kota ini menjadi pusat perhatian para pencari ilmu dan ulama. Banyak sekali ulama’ yang memiliki otoritas tinggi yang mengajar di kota Damaskus. Di sinilah Ibnu Katsir mendalami ilmu agama. Saudara laki-lakinya, Abdul Wahab, setia mendampingi Ibnu Katsir belajar. Ia sudah seperti ayahnya sendiri, menghidupi dan mengajari. Abdul Wahab merupakan guru pertamanya Ibnu Katsir, sebelum Ibnu Katsir belajar ilmu agama kepada para Syaikh.
Di Damaskus inilah Ibnu Katsir tumbuh besar hingga menjadi ulama’. Beliau juga menjadi guru besar di Masjid Umayyah Damaskus. Selain tafsir, ia juga menulis kitab-kitab fikih, hadis dan sejarah. Di antaranya adalah al-Bidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan lain-lain. Fikihnya mengikuti Imam al-Syafi’i. Ia melahirkan sejumlah murid yang meneruskan perjuangannya. Di antaranya Sa’duddin al-Nawawiy, Syihabuddin bin Haijjiy, Ibnu Jazariy, dan Imam al-Zarkasyi.
Para murid dan ulama’ Damaskus mengenal Ibnu Katsir sebagai ilmuan yang memiliki kelebihan menghafal dengan kuat. Salah satu muridnya, Ibnu Hijjiy mengatakan : “Ibnu Katsir adalah orang yang paling kuat hafalan hadisnya yang saya kenal. Paling tahu tentang ilmu Jarh wa Ta’dil dan kesahihan sebuah hadis”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan perawinya, ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.
Ia juga terkenal ahli mengungkapkan dan mengolah berbagai macam materi dari sejumlah teks menjadi buah karya yang orisinil. Teks-teks kitab dari berbagai macam ilmu ia hafal di luar kepala. Kemudia dituangkan dalam bentuk tulisan, bukan sekedar memindah tapi mengolahknya menjadi karya yang berbobot, dan memiliki kekhasan.
Ilmu yang menjadi perhatian adalah tafsir dan hadis. Ia dikenal sangat hati-hati mengeluarkan hadis. Sehingga kitab hadisnya unggul di bidang kekuatan hadisnya. menghindarkan pengulangan, memperbaiki penjelasan, menjauhkan hadis-hadis dhaif (lemah) dan maudhu’, serta menghapus kisah-kisah Israiliyat (bersumber dari Yahudi dan diragukan kebenarannya). Di samping itu, juga membersihkan konsep-konsep yang berbau khurafat, menjelaskan pembahasan sekaligus tujuannya melalui beberapa ulasan yang menonjolkan akidah. Karena itu Tafsir Ibnu Katsir disebut-sebut sebagai yang terbaik di antara tafsir yang ada pada zaman ini.
Ibnu Katsir mengingatkan agar hati-hati menggunakan kisah israiliyyat dan riwayat-riwayat lemah dalam menafsirkan al-Qur’an. Kadang beliau juga menngutip kisah yang tidak bermasalah karena sudah masuk dalam riwayat-riwayat Islam. Dan beliau juga menjelaskan tentang israiliyyat yang tidak bisa dipercaya. Kehati-hatian menerima riwayat ini karena beliau memang pakar hadis yang cukup selektif. Ilmu ini ia peroleh dari gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ia belajar kepada Ibnu Taimiyah bersama Ibnu Qoyyim dan al-Dzahabi.
Karakter lainnya dari Tafsir Ibnu Katsir adalah tafsirnya juga dilengkapi penjelasan hukum-hukum fikih dengan menyebut dalil para ulama’, mendasarkan kepada kaidah bahasa Arab dan Syair, menyebutkan pemikiran tokoh-tokoh ahli hadis dan ahli-ahli lainnya.
Pada tahun 774 H/1373 M Ibnu Katsir meninggal dunia di usia 74 tahun pada hari Kamis 26 bulan Sya’ban di Damaskus. Berdasarkan wasiatnya ia dimakamkan bersebelahan makam gurunya Syaikh Ibnu Taimiyah.
Oleh: Kholili Hasib, anggota MIUMI Jawa Timur, Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya.