Oleh : Jefri Hidayat ( kompasiana)
Akhir-akhir ini Partai Keadilan sejahtera (PKS) mendapat sorotan tajam terkait dengan dugaan suap kuota Impor sapi. Tak tanggung-tanggung, Presiden PKS langsung yang dicokok Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK).
Peristiwa ini yang menimpa PKS ini menurut saya biasa saja, bukan lah suatu yang istimewa. Tapi, tidak pula bagian konspirasi atau di politisasi oleh lawan politik PKS. Setidaknya, Allah memberikan teguran bagi kader partai dakwah ini. Lantaran, PKS sudah mulai mengikuti irama partai politik lain yang sibuk memburu kekuasaan.
Penangkapan LHI menurut saya bukanlah kiamat bagi PKS, tidak pula membuat partai ini karam. Sebab, orang-orang yang berdiam di PKS bukanlah Nabi atau Dewa. Mereka hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Kalau kecewa ditanyakan, ya, tentu pasti. Sebab, hamper seluruh masyarakat yang memilih PKS dulunya berharap akan sebuah perubahan politik, politisi dan kekuasaan. Tapi tidak juga elok kita terus-menerus menohok politisi yang islami ini.
Terlepas beragamp polemik dan kasus hokum yang membelit partai yang mengususng bersih, peduli dan professional ini ada hal-hal yang menarik dan itu berbeda dari partai politik kebanyakan yakni soal menempatkan seseorang mengisi posisi jabatan atau kepengurusan.
Jika menengok partai politik yang berkibar di Indonesia biasanya, terjadi gontok-gontokan apabila terjadi kekosongan jabatan strategis. Seperti : ketua umum partai, pimpinan di DPR dan segala macamnya. Tapi di PKS semua dinamika itu berhasil diredam dengan baik, tanpa perlu saling serang sesame kader guna mengambil sebuah jabatan.
Kita masih ingat bagaimana Fadel Muhammad tidak terima diganti oleh Cicip Sutarjo dari kursi mentri kelautan dan perikanan. Tidak hanya kecewa, bahkan Fadel tidak terima dan merasa dizalimi terkait pencopotan dirinya. Jika menganggap jabatan sebagai amanah seharusnya tidak jadi masalah ketika diganti.
Tidak hanya soal jabatan. Ketika Kongres Golkar di Pekanbaru terjadi perang dingin yang begitu hebat, saat Aburizal Bakrie bertarung dengan Surya Paloh dalam perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar.seperti kita ketahui, Ical berhasil menyalip Surya Paloh. Golkar kembali retak dengan keluarnya bos media group ini dari Golkar dan mendirikan Partai Nasdem. Sebelumnya Wiranto juga melakukan hal serupa dengan mendirikan partai Hanura.
Serupa tapi tak sama, kejadian serupa juga dialami partai democrat. Pada kongres Bandung 2010 ada tiga calon bersaing memperebutkan kursi ketua umum partai berlambang bintang mercy ini. Walaupun tidak separah Golkar, dan kader democrat bilang yang menang adalah demokrasi. Namun public tahu pasca kongres tersebut telah terbentu beberapa faksi di tubuh democrat.
Ada faksi SBY yang dimotori Andi Malaranggeng dan Ruhut sebagai striker tunggal, yang sampai saat ini terus bersebrangan dengan kubu ketua umum terpilih, Anas Urbaningrum. Sekuat apapun democrat menutupi, faksionasi itu jelas kentara dengan gamblang. Apalagi, akhir-akhir ini kubu SBY terus menebar tuntutan meminta Anas mundur dari kursi kepemimpinan partai.
Sedangkan di PKS hal demikian tidak pernah terjadi. Persoalan jabatan adalah masalah berat bagi kader partai dakwah ini. Setiap pergantian tampuk kepemimpinan, PKS tanpa gejolak selalu solid. Silahkan browsing di google semenjak PKS bernama Partai Keadilan yang dipimpin Nurmahmudi Ismail, lalu berubah menjadi PKS secara beruturut-turut dibawah presiden Hidayat Nurwahid, Tiffatul Sembiring, Lutfi Hasan Ishaq dan sekarang dibawah kepemimpinan Anis Matta.
Menariknya kader-kader PKS yang mengisi atau yang didorong mengemban sebuah jabatan dan posisi tidak mengandalkan popularitas kader. Seperti yang sering kita dengar dari partai lain. PKS lebih menonjolkan kapasitas, integritas dan kapabilitas seorang kader. Mari kita tengok : siapa sich yang kenal dengan Hasan Ishaq sebelum menjadi Presiden PKS?ujug-ujug menjadi orang nomor satu di PKS. Begitu juga dengan Sohibul Imam yang telah di plot menjadi Wakil Ketua DPRRI menggantikan Anis Matta.
Padahal, PKS masih punya segudang nama. Ada Fahri Hamzah yang sering nongol di TV, ada Zulkiflimansah, Mahfud Shidiq dan sederet kader yang punya kapasitas ditambah popular dikalangan masyarakat. Namun, PKS tampaknya mengesampingkan factor keterkenalan. Dan lebih menonjolkan intelektualitas kader yang diposisikan sebagai pejabat public.
Begitu juga dengan posisi mentri, semuanya hamper tak dikenal public. Alasan inilah yang membuat PKS berbeda dari yang lain dan patut ditiru oleh segenap elemen pelaku politik di Indonesia. Tak iri, dengki dan saling singkut antar kawan seorganisasi.
Di beberapa daerah misalnya : ada keselurhan anggota DPRDnya menerima suap atau gratifikasi kecuali PKS. Fakta ini dapat dijadikan sebuah rujukan bahwa PKS masih relevan dijadikan tauladan bago kawan-kawan. Sebab PKS, tidak hanya mengajarkan tentang dunia tapi juga akherat. Walaupun saya tidak bagian dari PKS, namun saya masih tetap mempercayai partai dakwah ini menjadi agent perubahan ditengah kehidupan politik Indonesia yang semakin seram, kelam dan tanpa arah.